Sargassum sebagai Alternatif Pewarna Alami
Konsumen merupakan pasar yang potensial bagi perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan pangan. Umumnya yang pertama kali diperhatikan saat memilih makanan atau minuman adalah kenampakan visualnya, terutama warna. Tidak sedikit orang yang membeli suatu jenis makanan hanya karena melihat warnanya yang menarik.
Di kalangan anak-anak, warna jelas menjadi daya tarik paling utama di samping bentuk dan kemasan. Mereka bahkan terkadang tidak terlalu mempedulikan bagaimana rasa makanan atau minuman yang mereka beli, selama warna, bentuk, dan kemasannya menarik.
Undang-undang penggunaan zat pewarna di Indonesia belum diterapkan secara tegas, maka terdapat kecenderungan terjadinya penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk produk makanan dan minuman. Misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai makanan atau minuman. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut.
Timbulnya penyalahgunaan ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk bahan makanan atau minuman, atau tidak adanya penjelasan rinci dalam label yang melarang penggunaan zat pewarna tertentu untuk bahan pangan. Faktor lain adalah harga zat pewarna untuk tekstil yang jauh lebih murah dibanding harga zat pewarna makanan. Harga zat pewarna makanan memang relatif lebih tinggi karena bea masuknya jauh lebih tinggi daripada bea masuk zat pewarna nonpangan.
Menyadari pentingnya warna, maka produsen makanan seringkali menambahkan pewarna pada produk makanannya baik berupa pewarna alami (pigmen) ataupun pewarna sintetik. Sejak ditemukannya pewarna sintetik, penggunaan pigmen semakin menurun, meskipun tidak hilang sama sekali. Pewarna sintetik lebih disukai karena lebih ekonomis, praktis dan sifat pewarnaannya yang stabil dan seragam.
Beberapa kelemahan yang dimiliki oleh pewarna sintetik diantaranya adalah sifatnya yang karsinogenik dan beracun. Kekhawatiran akan keamanan penggunaan pewarna sintetik mendorong pengembangan penggunaan pewarna alami sebagai bahan pewarna makanan. Zat pewarna sintetis seharusnya telah melalui suatu pengujian secara intensif untuk menjamin keamanannya.
Karakteristik dari zat pewarna sintetis adalah warnanya lebih cerah, lebih homogen dan memilliki variasi warna yang lebih banyak bila dibandingkan dengan zat pewarna alami. Di samping itu penggunaan zat pewarna sintetis pada makanan bila dihitung berdasarkan harga per unit dan efisiensi produksi akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan zat pewarna alami.
Pigmen atau zat warna alami dapat diperoleh dari tanaman atau hewan. Pigmen yang dihasilkan dari rumput laut coklat ini dapat menggantikan pewarna sintetis yang akhir-akhir ini penggunaannya semakin meningkat. Beberapa pigmen yang dinyatakan seringkali digunakan sebagai bahan pewarna alami, antara lain karotenoid, fukosantin, karamel, kurkumin, klorofil, flavonoid, seperti tannin, katekin, antosianin dan lain-lain.
Untuk pewarna tekstil, alga coklat yang digunakan adalah yang memiliki struktur manuronat lebih banyak dalam hal ini ada pada Sargassum dan Turbinaria. Struktur kimianya mengikat zat pewarna, namun lebih mudah melepaskannya pada bahan kain. Bahan pewarna alami ini kini mulai banyak digunakan menggeser pewarna sintetis. Hal ini tentunya akan memberi banyak keuntungan bagi Indonesia yang memiliki rumput laut jenis alga coklat yang melimpah.
Selain ramah lingkungan karena bukan bahan kimia berbahaya dan beracun, harga pewarna alami dari rumput laut juga relatif murah dibandingkan pewarna kimia sintetis. Pembuatan batik cap dengan pewarna rumput laut dapat menekan biaya hingga 25 persen.
Pemanfaatan potensi alam Indonesia ini juga akan berdampak pada penghematan devisa karena akan mengganti pewarna batik yang selama ini masih impor. Selain itu, pengolahan rumput laut menjadi zat pewarna merupakan peluang usaha baru bagi industri lokal dan selanjutnya juga akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Posting Komentar